Dalam jagat kesenian negeri ini, ketoprak, sebagaimana ketoprak Pati, menjadi salah satu dari ikon penting kemanusiaan mengingat ia selalu menyuguhkan lakon tentang kehidupan dan sejarah kemanusiaan. Kesenian itu menjadi media pertunjukan untuk mementaskan cerita dalam labirin kehidupan dan kearifan lokal Bumi Mina Tani.

Data Dinas Pendidikan Kabu­paten Pati tahun 2007 mencatat 35 grup ketoprak yang secara res­mi terdaftar. Bebe­rapa pu­nya nama besar, semisal Cahyo Mudho dari Bakarankulon, Siswo Budoyo dari Growonglor, Bangun Budoyo dari Karang (semua di Kecamatan Juwana), Langen Marsudi Rini (Growongkidul), Wahyu Budoyo (Ngagel, Kecamatan Dukuhsekti).

Kemudian, Ronggo Budoyo dari Rangga, Dwijo Gumelar dari Sido­mukti, Kridho Carito dari Sumberejo (Ke­camatan Jaken), Kelompok Ketoprak Konyik/ KKK (Tlo­gowungu), dan Mang­gala Budaya (Pelemgede, Ke­camatan Pucakwangi).

Ketoprak Cahyo Mudho yang berdiri tahun 1950, dan terkenal dengan sebutan Ketoprak Bakaran pantas mendapatkan catatan tersendiri. Bukan hanya karena sejak kelahirannya hingga sekarang belum pernah ’’sekarat’’, apalagi mati, melainkan juga lantaran frekuensi tanggapan yang terbilang tinggi.

Sekalipun saat ini masih kalah laris dari Siswo Budoyo, yang selama 6 tahun terakhir ini tiap tahun tak kurang 120 kali manggung. Karena itu, tidak mengherankan jika selain regenerasi yang terus berjalan, selama satu dasawarsa terakhir tak sedikit pemain ketoprak dari wilayah Tulungagung, Kediri, dan Solo, "merum­put" di Pati, baik sebagai anggota tetap maupun bon-bonan (pemain tamu).

Tak bisa dimungkiri, perjuangan pekerja seni ketoprak dalam ngugemi (menjaga) nilai-nilai kearifan lokal dan rekaman sejarah tidak sebanding dengan apresiasi yang mereka terima. Seniman ketoprak senantiasa asing dari gelegar penghargaan kesenian dan kebudayaan negeri ini. Hal ini karena biaya hi­dup makin tinggi dan hasil pertunjukan kesenian ketoprak makin lama makin memprihatinkan (Sucipto HP, 2008).

Karena itu, Pemkab Pati diharapkan ikut berperan menjaga kesenian ketoprak agar tak punah. Terlebih secara tidak langsung, tiap pementasan pasti mengangkat nama Pati ke luar daerah. Padahal sejauh ini, untuk bisa pentas, seniman ketoprak harus mengupayakan sendiri uba rampe. Tidak hanya dana, tapi jaringan untuk mengangkat budaya Pati harus dilakoni sendiri tanpa keterlibatan pemda.

Sebut saja Kelompok Ketoprak Konyik (KKK), untuk bisa berkreasi di daerah sendiri, seniman kesenian itu masih mengalami kesulitan. Mereka hanya hidup dari tanggapan dari masyarakat yang punya hajat. Akibatnya, ketoprak Pati tidak bisa setenar kelompok dari daerah lain. Hal ini bukan karena salah sutradara atau pemain melainkan karena keminiman dukungan Pemkab.

Padahal selama ini ketoprak menjadi salah satu kesenian khas Pati, tapi justru terseok-seok untuk mempertahankan eksistensi. Seharusnya pemda lebih tanggap untuk ikut memajukan, dan menjadikannya sebagai ikon. Dengan demikian kesenian ini akan berkembang dan kebudayaan asli tidak akan mati.

Atas kondisi itu, penulis berharap Pemkab bisa memberikan kesempatan grup-grup ketoprak pentas rutin tiap bulan dengan membantu biaya produksi. Butuh anggaran yang relatif kecil, hanya Rp 75 juta/ tahun untuk satu grup yang pentas secara bergilir, serta biaya produksi dan pementasan Rp 6 juta.

Selain itu, pemda hendaknya memberikan ruang apreasiasi tinggi bagi kelangsungan grup ketoprak, semisal dengan membangun ruang kesenian seperti Taman Budaya Raden Saleh (Semarang), Bentara Budaya (Yogjakarta), atau Taman Budaya Jawa Tengah (Solo) dan mengagendakan pertunjukan resmi secara kontinu .

Pemangku kebijakan di Pati bisa melihat kemudahan memperoleh keping VCD ketoprak Pati di lapak pedagang kaki lima, dan realitas itu salah satu wujud riil betapa sosok kesenian tradisional tersebut masih lekat pada hati masyarakat, terutama warga Pati

Sumber :Suara Merdeka

x

Post a Comment